landscape

landscape
fantastis

health natural

Cari Blog Ini

Jumat, 07 Januari 2011

Tasbih Pak Didi

“ Mang Udin, coba tebak dari apa tasbih ini dibuat?” tanya Pak Didi dengan logat
Sundanya yang enak didengar. Aku menerima tasbih yang
disodorkannya. Kuamati biji-biji
tasbih yang warna putihnya
sudah mulai kusam. Aku
mencoba mengira-ngira,
terbuat dari apa tasbih kesayangan pak Didi ini. “ Aku nggak tahu Pak Didi. Kayu, bukan! Plastik, bukan!
Karet, rasanya juga bukan!” Aku menyerah. Kulihat Pak Didi tersenyum.
Pasti dia merasa puas karena
aku tak bisa menjawab
tebakannya dengan benar.
Dengan santai, beliaupun
bercerita dari apa dan bagaimana riwayat dibalik
pembuatan tasbih ‘ aneh’ kebanggaannya itu. Kusebut
aneh karena baru pertama
kali aku melihat tasbih
semacam itu. Bentuknya,
warnanya juga bahannya
yang tak bisa kutebak. Dan cerita Pak Didi tentang
tasbih kebanggaannya
sungguh membuatku takjub.
Tasbih ‘ unik’ yang dibanggakan Pak Didi ternyata
terbuat dari potongan pipa
paralon. Butuh beberapa saat
untuk aku bisa memahami
bahwa biji tasbih itu bahan
bakunya adalah pipa paralon. Setelah Pak Didi menjelaskan
dengan lebih rinci lagi, barulah
aku bisa mengerti bahwa biji
tasbih itu memang terbuat
dari potongan pipa paralon
empat inchi. “ Pertama batang paralon dipotong dengan gergaji besi,” Pak Didi memberi penjelasan.
“ Kemudian potongan paralon yang menyerupai sebuah
gelang dipotong-potong kecil,
dibentuk sedemikian rupa
sampai berbentuk bundar
seperti kancing baju, dilubangi
tengahnya menggunakan solder dan terakhir dirangkai
dengan benang sol sepatu,” Pak Didi menambahkan. Aku mencoba membayangkan
bagaimana repotnya Pak Didi
melakukan semua ini. Bukan
hal yang sulit bila pekerjaan
ini dilakukan oleh orang yang
panca inderanya berfungsi sempurna. Tapi tentu tidak
mudah bagi Pak Didi yang
kedua indera penglihatannya
tak lagi berfungsi. Sebuah
kecelakaan kerja telah
membuat kedua matanya buta. Inalillahi wa innailiahi
roji’ uun! Sempat muncul pertanyaan
dalam hatiku, mengapa Pak
Didi mau bersusah payah
membuat tasbih sendiri, toh
harga sebuah tasbih tidak
terlalu mahal, sangatlah terjangkau. Apalagi meski tak
lagi bekerja, alhamdulillah Allah
memberikan keluasan rizki
bagi Pak Didi dan keluarganya.
Hasil dari menyewakan
kontrakan cukup untuk membiayai hidup mereka
sehari-hari, termasuk bila Pak
Didi ingin membeli sebuah
tasbih dengan kualitas bagus
sekalipun. Tapi aku menjadi maklum
mengapa Pak Didi memilih
membuat tasbihnya sendiri.
Bukan, sama sekali bukan
karena Pak Didi seorang yang
pelit. Aku tak menemukan alasan dan bukti untuk
mengatakan itu. Yang kulihat
justru semangatnya yang
tetap membara meski ia telah
kehilangan fungsi kedua
matanya. Baginya, tak bisa melihat bukan berarti tak bisa
melakukan aktifitas apapun.
Meski tidak seperti tasbih
pada umumnya - bahkan lebih
tepat disebut aneh ketimbang
unik— namun inilah bukti nyata dari kerja kerasnya. Luka di
jari akibat sayatan pisau dan
sundutan solder turut menjadi
saksi dari kegigihannya. Bukan hanya tasbih yang
menjadi bukti dari tingginya
semangat hidup Pak Didi.
Meski kadang harus berjalan
sendiri, meraba jalan dengan
tongkat kayunya, menghitung langkah dengan rumus
ciptaannya, beliau hampir tak
pernah meninggalkan sholat
Maghrib dan Isya berjamaah di
mushola. Bahkan sebelum ada
jamaah sholat Shubuh yang datang, beliaulah yang
pertama kali melantunkan
sholawat, membangunkan
orang-orang yang masih
terlelap. Kurasa sholat Zhuhur
dan Asharpun beliau tak pernah ketinggalan. Mudah-
mudahan saja beliau tetap
istiqomah hingga akhir
hayatnya. Amin. Bukti lainnya adalah, meski
sama sekali tak bisa melihat,
semangat Pak Didi untuk
menghafal ayat-ayat Al Quran
sangatlah tinggi. Surat Yaasiin
sudah lama beliau hafal, barangkali sebelum aku
mengenalnya. Yang kutahu
pasti adalah ketika beliau
dengan tekun belajar
menghafal surat Al Waaqi’ ah yang berjumlah 96 ayat. Usai
sholat Maghrib, Pak Didi tidak
pulang lagi ke rumah. Ia tetap
berada di mushola hingga
waktu Isya tiba. Tanpa malu
dan tanpa ragu, ia akan meminta tolong kepada
siapapun jamaah yang ada
untuk membacakan satu ayat.
Dengan serius beliau akan
mendengarkan, merekam dan
membacanya kembali berulang-ulang hingga hafal. Kini, 96 ayat surat Al
Waaqi’ ah sudah seluruhnya beliau hafal. Subhanallah! Aku
turut bahagia karena pernah
beberapa kali menemani beliau
menghafal ayat-ayat dalam
surat ini. Aku membacanya,
Pak Didi menyimak dan mengulangnya berkali-kali
hingga hafal. Bahkan,
pembicaraan tentang tasbih
uniknya malam itu terjadi di
sela-sela kegiatan menghafal
surat Taubah. Entah mengapa, ayat ketiga belas surat At
Taubah ini tidak selancar dua
belas ayat sebelumnya. Dan
aku tahu kebiasaan beliau,
untuk ‘ mendinginkan’ ingatannya, beliau beristirahat
sebentar, ngobrol ala
kadarnya, perbincangan yang
ringan namun tetap tak lepas
dari hikmah, seperti obrolan
tentang tasbihnya malam itu. “ Saya sudah berpesan, kalau saya mati tasbih ini jangan
dibuang, tapi diwariskan
kepada anak cucu saya,” aku kaget, tiba-tiba Pak Didi
bicara soal kematian. “ Jangan ngomongin mati dulu Pak Didi. Syerem Ah!” timpalku spontan, sambil tertawa. “ Lho, mati itu kan pasti, mang Udin! Cuma kita tidak tahu
kapan, dimana dan bagaimana
caranya,” jawabnya sambil tertawa juga. Aku
mengiyakan. Aku tahan untuk tidak
bertanya adakah anak
cucunya yang akan
memperlakukan tasbih unik itu
seperti dirinya. “ Serius, saya sudah berpesan kepada istri, meskipun jelek
tasbih ini jangan dibuang tapi
diteruskan kepada anak cucu
saya. Tentunya bukan untuk
barang pajangan apalagi
dianggap jimat atau barang keramat,” aku merasa tidak enak hati, sepertinya beliau
tahu apa yang sedang
kubatin tentang tasbihnya
yang aneh -unik- itu. “ Saya ingin anak cucu saya tekun beribadah, berzikir
menggunakan tasbih ini.
Selama mereka menggunakan
tasbih ini, saya berharap
mereka ingat bahwa dalam
kondisi apapun janganlah mudah menyerah pada
keadaan. Tetap belajar,
berusaha dengan penuh
keyakinan meskipun keadaan
kita tak sempurna. Semoga
mereka juga bisa mengambil pelajaran dari riwayat
pembuatan tasbih ini. Meski
saya buta, saya tidak ingin
menjadikan kebutaan saya
untuk pasrah dan tidak
melakukan apa-apa,” Pak Didi menjelaskan keinginannya
untuk mewariskan tasbih unik
buatan tangannya kepada
anak cucunya. Subhanallah,
aku merinding mendengarnya. Benar bahwa kondisi fisik
yang tidak sempurna bukanlah
alasan untuk menyerah. Bukan
pula penghalang untuk terus
beribadah. Biji tasbih buatan
tangan Pak Didi adalah salah satu bukti bahwa beliau tak
pernah menyerah dengan
keadaan. Disiplin sholat
berjamaah di mushola, juga
hafalan surat Al Waaqi’ ah, Surat Yaasiin dan surat At
Taubah yang sedang berusaha
beliau hafalkan adalah bukti
nyata ketekunannya dalam
beribadah. Cerita pak Didi tentang biji
tasbihnya membuka
kesadaranku, sekaligus
membuatku malu. Aku yang -
alhamdulillah- dianugerahi
dengan panca indera yang semuanya berfungsi sempurna,
tak jarang merasa lemah
menghadapi kerasnya
kehidupan. Juga, aku yang
beberapa kali menemani beliau
menghafal ayat-ayat Al Qur’ an, belum bisa sepenuhnya mengikuti
jejaknya. Bila malam itu kami
bisa sama-sama hafal, maka
malam berikutnya belumlah
tentu aku masih hafal. Tidak
seperti beliau yang sekali hafal, maka akan terus
diulangnya sampai benar-
benar hafal, hingga berhari,
berminggu dan berbulan
lamanya, bahkan mungkin
bertahun dan selamanya. Subhanallah! Ya Allah, benar apa yang
dikatakan pak Didi bahwa
kematian adalah hak.
Siapapun, termasuk aku dan
beliau pasti akan bertemu
dengan yang satu ini. Tapi kumohon pada Mu ya Allah,
apapun pembicaraan kami
malam itu, semoga bukan
sebuah pertanda bahwa kami
akan segera berpisah. Berilah
kami kesempatan lebih luas lagi untuk terus belajar.
Ijinkan aku belajar banyak hal
dari seorang pak Didi yang
meski telah Engkau ambil
nikmat penglihatannya, tak
menghalangi langkah kakinya mendatangi mushola, tak
menghalangi tangannya untuk
berkarya dan tak menghalangi
kemauannya menghafal ayat-
ayat suci Mu ya Allah. Sungguh bijak nasihat Pak Didi
melalui tasbihnya, bahwa
apapun kesulitan kita, jangan
menyerah dan jangan
berputus asa. Dalam kondisi
apapun, kita harus selalu mengingat Allah. Berzikir
dengan tasbih, itu yang
dilakukan pak Didi. Beliau
bukan satu-satunya yang
melakukan itu, tapi kegigihan
yang beliau miliki barangkali tak banyak yang menyamai,
termasuk aku.